Ragam Bahasa
01.
Pengantar
Bahasa Indonesia ialah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: "Kami poetera dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa lndonesia" dan undang-undang dasar kita yang di dalamnya tercantum pasal khusus yang menyatakan bahwa "bahasa negara ialah bahasa Indonesia". Namun, masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang terkemuka di antara beratus-ratus bahasa nusantara yang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa ibu.
Penting tidaknya suatu
bahasa dapat juga didasari oleh ketiga patokan berikut: (1) jumlah penuturnya,
(2) luas penyebarannya, dan (3) peranannya sebagai sarana ilmu, susastra, dan
ungkapan budaya lain yang dianggap bernilai .
Jika kita menggunakan patokan yang pertama, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi, jika pada jumlah itu ditambah penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, maka kedudukannya dalam deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat pertama. Lagi pula, hendaknya disadari bahwa jumlah penutur asli bahasa Indonesia lambat laun akan bertambah. Pertambahan itu disebabkan oleh hal-hal berikut: Pertama, arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta, yang merupakan himpunan pendatang yang berbeda-beda bahasa ibunya, menciptakan keperluan akan alat perhubungan bersama. Jika orang itu menetap, maka anak-anaknya tidak jarang akan dibesarkan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya. Kedua, perkawinan antarsuku kadang-kadang mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah yang dipakainya banyak perbedaaannya. Ketiga, bertalian dengan patokan kedua di atas, generasi muda golongan warga negara yang berketurunan asing ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Anaknya akan dididik dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang dipakai di lingkungannya. Keempat, orang tua masa kini, yang sama atau berbeda latar budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia.
Patokan yang kedua jelas menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai orang di daerah pantai timur Sumatra, di Pulau Riau dan Bangka serta daerah pantai Kalimantan. Jenis kreol bahasa Melayu-Indonesia didapati di Jakarta dan sekitarnya, di Manado, Ternate, Ambon. Banda, Larantuka, dan Kupang. Sebagai bahasa kedua pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke timur, dan dari pucuk utara sampai ke batas selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari dan dipakai di antara kalangan terbatas di negeri Australia, Filipina. Jepang. Korea. Rusia, India. Ceko, Jerman, Prancis, Nerlandia, Inggris, Amerika. Belum lagi bahasa Malaysia, dan bahasa Melayu di Singapura dan Brunei, yang jika ditinjau dari sudut pandangan ilmu bahasa merupakan bahasa yang sama juga.
Patokan yang ketiga mengingatkan kita akan seni kesusastraan yang mengagumkan yang dihasilkan dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali. dan Minangkabau, misalnya. Akan tetapi, di samping susastra Indonesia modern yang dikembangkan oleh sastrawan yang beraneka ragam latar bahasanya, bahasa Indonesia pada masa kini berperan sebagai sarana utama, di luar bahasa asing, di bidang ilmu, teknologi, dan peradaban modern bagi manusia Indonesia .
Uraian di atas memberikan gambaran betapa pentingnya bahasa Indonesia bagi kita. Menurut tiap-tiap patokan yang diajukan, bahasa itu mengatasi bahasa daerah yang lain. Harus dicatat di sini bahwa kedudukannya yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa; bukan karena besar-kecilnya kosa katanya, atau keluwesan dalam tata kalimatnya, ataupun karena daya ungkapnya dalam gaya. Di dalam sejarah manusia pemilihan lingua franca, yakni bahasa perantara orang yang latar budayanya berbeda, bahasa kebangsaan, atau bahasa internasional tidak pernah dibimbing oleh pertimbangan linguistik, logika, atau estetika, tetapi selalu oleh patokan politik, ekonomi, dan demografi. Dialek kota Atena misalnya, yang menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan orang Yunani sebelum datangnya kekuasaan Romawi menjadi bahasa umum bersama (koine) yang menggantikan dialek Yunani yang lain sebagai tolok ukur.
02. Ragam Bahasa
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tak terelakkan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka macam itu masih tetap disebut “bahasa Indonesia" karena masing-masing berbagi teras atau inti sari bersama yang umum. Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, tata makna, umumnya sama. Itulah sebabnya kita masih dapat memahami orang lain yang berbahasa Indonesia walaupun di samping itu kita dapat mengenali beberapa perbedaan dalam perwujudan bahasa Indonesianya. Marilah kita ikhtisarkan ragam bahasa itu. Pertama-tama kita kenali ragam menurut golongan penutur bahasa dan ragam menurut jenis pemakaian bahasa. Kita akan melihat bahwa ragam-ragam itu bertautan. Ragam yang ditinjau dari sudut pandangan penutur dapat diperinci menurut patokan (1) daerah, (2) pendidikan, dan (3) sikap penutur.
Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat. Masing-masing dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya; sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang daerahnya berdampingan. Jika di dalam wilayah pemakaiannya, orang tidak mudah berhubungan, misalnya karena kediamannya dipisahkan oleh pegunungan, selat, atau laut, maka lambat-laun dalam perkembangannya akan banyak berubah sehingga akhirnya dianggap bahasa yang berbeda. Hal itu pernah terjadi dahulu kala dengan bahasa Nusantara Purba yang sekarang disebut bahasa Batak, Jawa, Sunda, Bali, Tagalog. Logat daerah bahasa Indonesia yang sekarang kita kenal berkat perhubungan yang lebih sempurna lewat kapal, pesawat, mobil, radio, surat kabar, dan televisi, agaknya tidak akan berkembang menjadi bahasa tersendiri .
Logat daerah paling kentara karena tata bunyinya. Logat yang dilafalkan oleh putera Tapanuli dapat dikenali, misal tekanan kata yang amat jelas; logat Indonesia orang Bali dan Jawa, karena pengucapan bunyi /t/ dan /d/-nya. Ciri-ciri khas yang meliputi tekanan, turun-naiknya nada, dan panjang-pendeknya bunyi bahasa membangun aksen yang berbeda-beda. Perbedaan kosa kata dan variasi gramatikal tentu ada juga walaupun mungkin kurang nampak. Ragam dialek dengan sendirinya erat hubungannya dengan bahasa ibu si penutur.
Berapa banyak jumlah logat Indonesia? Jawaban atas pertanyaan itu bergantung pada tingkat kecermatan yang kita terapkan dalam pengamatan kita dan pada keakraban kita dengan tata bunyi atau tata bahasa berbagai bahasa daerah Nusantara. Orang Bugis yang belum pernah mendengar bahasa Lampung, Sumatra Selatan, akan berpendapat bahwa logat Indonesia orang Lampung tidak beraksen kedaerahan. Sebaliknya, orang Lampung mungkin dapat membedakan logat Indonesia di daerahnya yang dipengaruhi oleh dialek Abung, Komering, atau Krui. Sikap penutur bahasa Indonesia terhadap aksen penutur lain berbeda-beda. Aksen itu dapat disenangi dan/ atau tidak disenangi. Umumnya dapat dikatakan bahwa kita berlapang hati terhadap kelainan aksen orang selama bahasa Indonesianya masih dapat dipahami. Mungkin karena peranan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama yang sesungguhnya, belum terlalu lama, kita belum melihat proses polarisasi logat yang jelas.
Ragam bahasa menurut pendidikan formal, yang menyilangi ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tata bunyi Indonesia golongan yang kedua itu berbeda dengan fonologi kaum terpelajar. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, tidak selalu terdapat dalam ujaran orang yang tidak atau hampir tidak bersekolah. Bentuk fakultas, film, fitnah, kompleks yang dikenal di dalam ragam orang yang berpendidikan, bervariasi dengan pakultas, pilem, pitenah, dan komplek dalam ragam orang yang tidak mujur dapat menikmati pengajaran bahasa di sekolah. Perbedaan kedua ragam itu juga nampak pada tata bahasa. Kalimat “Saya mau tulis itu surat ke pamanku” cukup jelas maksudnya, tetapi bahasa yang terpelihara menuntut agar bentuknya menjadi “Saya mau menulis surat itu kepada paman saya”. Rangkaian kata Indonesia dapat disusun menjadi kalimat Indonesia, tetapi tidak setiap kalimat Indonesia termasuk bahasa yang terpelihara. Ali yang berpakaian lusuh dan koyak, atau Ali yang berdandan dengan rapi, tetap disebut Ali juga. Tetapi jika Ali ingin diperlakukan dengan baik dalam pergaulannya dengan orang lain, sebaiknyalah ia memelihara badannya dan berpakaian bersih. Itulah sebabnya, bahasa orang yang berpendidikan--yang lazimnya ditautkan dengan bahasa persekolahan--berciri pemeliharaan. Badan pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televisi, mimbar agama, dan profesi ilmiah, pendek kata, setiap lembaga yang hendak berbahasa dengan khalayak ramai akan menggunakan ragam bahasa orang berpendidikan.
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap-tiap pemakai bahasa. Ragam ini, yang dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Sikapnya itu dipengaruhi antara lain: oleh umur dan kedudukan yang disapa, pokok persoalan yang hendak disampaikannya, dan tujuan penyampaian informasinya. Dalam hal ragam bahasa menurut sikap, kita berhadapan dengan pemilihan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap kita yang kaku resmi, yang adab, yang dingin, yang hambar, yang hangat, yang akrab, atau santai. Perbedaan berbagai gaya itu tercermin dalam kosa kata dan tata bahasa. Perhatikanlah, misalnya, gaya bahasa kita jika kita memberi laporan kepada atasan, atau jika kita memarahi orang, membujuk anak, menulis surat kepada kekasih, mengobrol dengan sahabat karib. Walaupun begitu, teras atau inti sari bersama dalam gaya bahasa yang bermacam-macam itu tetap dapat dikenali.
Kemampuan menggunakan berbagai gaya itu pada hakikatnya terjangkau oleh setiap orang dewasa. Namun, kemahiran itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus diraih lewat pelatihan dan pengalaman. Untuk mencapai maksud itu diperlukan kematangan, kepekaan, dan kearifan yang memungkinkan si penutur mengamati dan mencontoh gaya orang yang dianggapnya cocok pada suasana tertentu. Penerapan gaya yang sama dalam situasi yang berlain-lainan, seperti halnya dengan anak kecil yang hanya menguasai satu gaya--yang dipakainya dalam lingkungan keluarganya—dapat menimbulkan kesan kemiskinan batin. Di pihak lain, penguasaan satu gaya bahasa semata-mata di kalangan masyarakat yang luas, misalnya gaya pidato, atau gaya instruksi, dapat menimbulkan anggapan bahwa dengan bahasa Indonesia orang seakan-akan tidak dapat bergaul dengan akrab, hangat, dan mesra.
Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci sebagai berikut: ( 1 ) ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan; (2) ragam menurut sarananya; dan (3) ragam yang mengalami gangguan pencampuran.
Setiap penutur bahasa hidup dan bergerak dalam sejumlah lingkungan masyarakat yang adat-istiadatnya atau tata cara pergaulannya dapat berbeda. Perbedaan itu terwujud pula dalam pemakaian bahasa. Orang yang ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam yang dikuasainya dan yang cocok dengan bidang atau pokok itu. Jumlah ragam yang dimilikinya agak terbatas karena bergantung pada luas pergaulannya, pendidikannya, profesinya, kegemarannya, dan pengalamannya. Bidang yang dimaksudkan itu, misalnya, agama, politik, ilmu, teknologi, pertukangan, perdagangan, seni rupa dan seni sastra, olah raga, perundang-undangan, dan angkatan bersenjata.
Kerap kali peralihan ragam itu berkisar pada pemilihan sejumlah kata atau ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang atau dalam pembahasan pokok persoalan yang bersangkutan. Misalnya, akidah, akad nikah, biara, pedanda (agama); kuorum, pemilihan umum, partai (politik); atom, Inflasi, pembelahan inti, fonem, fosil (ilmu); penyulingan, beton pratekan (teknologi); baut, dongkrak (pertukangan); pialang, konsumen, cek (perdagangan); ikon, stupa, naturalisme (seni rupa); sajak, alur, sorot balik, rima (seni sastra); gelandang, sundulan, gaya kupu-kupu (olah raga); pidana, perdata, mahkamah (perundang-undangan); panglima, saptamarga, satuan tugas, kapal selam (angkatan bersenjata).
Di samping itu, ada juga variasi dalam tata bahasanya. Perhatikanlah bagaimana bangun kalimat tersusun dalam uraian resep dapur, wacana ilmiah, surat putusan, undang-undang, wawancara, doa, iklan, dan kawat. Dalam karangan ilmiah, misalnya, penulisnya sering menghindari pemakaian kata aku atau saya. Sebagai pengganti dipakainya kami, atau penulis ini. Atau, penunjukan pengarang sama sekali ditinggalkannya dan verba kalimat-kalimatnya disusun dengan awalan pemasifan di-. Kaidah dalam seni kata, yang menghasilkan ragam susastra, termasuk yang paling ketat. Untaian kalimat yang berlarik-larik tidak selalu dapat disebut sajak, dan karangan yang jumlah katanya di bawah sepuluh ribu tidak selalu boleh dinamai cerita pendek. Pemakaian ragam menurut bidang atau pokok persoalan sering berpraanggapan adanya pemakaian ragam bahasa yang lain. Misalnya, kalimat yang berkaitan dengan pokok di dalam bidang ekonomi atau manajemen, mensyaratkan pemakaian ragam bahasa orang yang berpendidikan formal.
Ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan, atau ujaran, dan ragam tulisan. Karena tiap-tiap masyarakat bahasa memiliki ragam lisan. sedangkan ragam tulisan baru muncul kemudian, maka soal yang perlu ditelaah ialah bagaimana orang menuangkan ujarannya ke dalam bentuk tulisan. Bahasa Melayu dianggap orang sejak dahulu berperan sebagai lingua franca. Bahasa bersama itu untuk bagian besar penduduk kita berupa ragam lisan untuk keperluan yang agak terbatas. Bahkan sampai masa kini, oleh berjuta-juta orang yang masih buta huruf, bahasa Indonesia yang dikuasainya hanyalah ragam lisannya saja.
Apakah perbedaan yang mencolok mata yang dapat kita amati di antara ujaran dan ragam tulisan? Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama berhubungan dengan suasana peristiwanya. Jika kita menggunakan sarana tulisan, kita berpraanggapan bahwa orang yang diajak berbahasa tidak ada di hadapan kita. Akibatnya, bahasa kita perlu lebih terang dan jelas karena ujaran kita tidak dapat disertai oleh gerak isyarat, pandangan, atau anggukan, tanda penegasan di pihak kita atau pemahaman pendengar kita. Itulah sebabnya, kalimat dalam ragam tulisan harus lebih cermat sifatnya. Fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, dan objek, dan hubungan di antara fungsi itu masing-masing, harus nyata, sedangkan di dalam ragam lisan, karena penutur bahasa berhadapan atau bersemuka, unsur itu kadang-kadang dapat ditinggalkan. Orang yang halus rasa bahasanya sadar bahwa kalimat yang ditulisnya, berlainan dengan kalimat dalam ujarannya, dapat dibaca-baca orang, dikaji, dan dinilai dengan lebih mudah. Karena itu. ia sepatutnya berhati-hati sehingga berusaha agar kalimatnya lengkap, lebih ringkas, dan elok jika dibandingkan dengan kalimat ujarannya. Bentuk akhir kalimat ragam tulisan tidak jarang berupa hasil penyuntingan beberapa kali.
Hal yang kedua yang membedakan ragam lisan dengan ragam tulisan berkaitan dengan beberapa upaya yang kita gunakan dalam ujaran—misalnya, tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara, serta irama kalimat --yang sulit dilambangkan dengan ejaan dan tata tulis yang kita miliki. Jadi, penulis acap kali perlu merumuskan kembali kalimatnya jika ia ingin menyampaikan jangkauan makna yang sama lengkapnya atau ungkapan perasaan yang sama telitinya. Misalnya, kalimat ujaran “Darto tidak mengambil uangmu”, yang disertai pola intonasi khusus pada kata tidak, dalam tulisan mungkin dapat berbentuk “Bukan Darto yang mengambil uangmu”, agar penegasannya sama tarafnya. Harus ditambahkan di sini bahwa ragam tulisan juga mempunyai kelebihannya. Upaya seperti huruf kapital, huruf miring, tanda kutip, paragraf atau alinea, tidak mengenal padanannya yang sama jelasnya dalam ujaran .
Tiap penutur bahasa pada dasarnya dapat memanfaatkan kedua ragam lisan dan tulisan itu sesuai dengan keperluannya, apa pun latar belakangnya. Meskipun demikian, kita tidak dapat berharap orang yang kurang mendalam proses belajarnya mampu menggunakan ragam tulisan dengan keterampilan orang yang terpelajar. Pokok pengajaran bahasa di sekolah sebenarnyalah berkisar pada peningkatan keterampilan dan kefasihan dalam kedua ragam itu. Ragam lisan dan tulisan masih mengenal kendala atau hambatan lain. Artinya, ada bidang atau pokok persoalan yang lebih mudah dituangkan ke dalam ragam yang satu daripada yang lain. Misalnya, laporan keuangan dengan tabel bilangan dan grafik, atau uraian kimia yang berisi lambang unsur dan rumus hidrolisis, lebih mudah disusun dan dibaca dalam bentuk tulisan. Demikian pula peraturan perundang-undangan yang bangun kalimatnya sering bersusun-susun. Sebaliknya, laporan pandangan mata yang mencakup pertandingan olah raga dalam bentuk ragam lisan --dan yang dapat kita nikmati--sulit dipahami orang jika direkam secara harafiah dalam bentuk tulisan.
Walaupun kita mengakui adanya proses pengaruh-mempengaruhi di antara bahasa yang digunakan secara berdampingan, seperti halnya di Indonesia, keleluasaannya itu ada batasnya. Selama pemasukan unsur bahasa daerah Nusantara atau bahasa asing, misalnya Belanda dan Inggris, ke dalam bahasa Indonesia mengisi kekosongan atau memperkaya kesinoniman dalam kosa kata atau bangun kalimat, maka gejala itu kita anggap wajar. Akan tetapi, serta merta unsur bahasa yang bersangkutan itu menganggu rasa bahasa kita atau mengganggu keefektifan penyampaian informasi kita, maka ragam bahasa yang dicampuri unsur masukan itu kita tolak. Itulah yang disebut ragam bahasa yang mengalami gangguan pencampuran atau interferensi. Barang tentu, batas antara pencampuran yang mengganggu dan yang tidak, tidak selalu jelas. Banyaknya unsur pungutan yang berasal dari bahasa Jawa, misalnya, dianggap pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahasa Inggris oleh setengah orang dianggap pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Lafal Indonesia yang kesunda-sundaan agaknya masih dapat diterima orang; tidak demikian halnya dengan lafal yang kebelanda-belandaan. Apa pun ruang lingkup ragam hahasa yang berinterferensi itu, sekolah bertugas dalam pengajaran bahasanya mengenali gejala-gejalanya dan meniadakannya dalam ujaran dan tulisan para siswanya. Ragam bahasa berinterferensi itu disendirikan dalam pembahasan ini karena orang ramai memasalahkan pemasukan unsur Inggris ke dalam bahasa kita, bukan saja di bidang kosa kata, melainkan juga di bidang tata kalimat, sebagaimana yang dapat kita saksikan dalam ragam bahasa pers. Karena batas antara interferensi dan yang bukan lebih banyak berupa daerah peralihan, dan bukan titik peralihan, kita pun hendaknya bijaksana dan memungkinkan penyerapan unsur daerah dan asing ke dalam bahasa Indonesia jika pemakaiannya meningkatkan taraf komunikasi. Agar jangan salah paham, pendirian ini sekali-kali tidak menganjurkan agar pemasukan unsur tersebut dimudahkan.
Mosaik ragam bahasa di atas mencerminkan khazanah bahasa kita yang jalin-menjalin. Jalinan itu akan menjadi terang dengan contoh yang berikut. Orang dari Ujungpandang (logat), lulusan universitas (pendidikan) menulis karangan (sarana) tentang adat orang Toraja (bidang) untuk majalah sekolah siswa SMA (sikap). Lagi, pemuda Jakarta (logat) mengobrol (sarana) dengan santai (sikap) tentang pertandingan sepak bola (bidang) dengan teman wanitanya (sikap) .
Tingkat kemahiran orang mewujudkan berbagai ragam bahasa--yang sama teras atau inti sari bersamanya--dalam suatu uraian berbeda-beda. Pertanyaan yang mungkin diajukan ialah dapatkah seseorang menguasai semua ragam yang terpakai dalam bahasanya. Dalam teori, jika masyarakat bahasa yang bersangkutan sangat sederhana sifatnya dan peri kehidupannya serba seragam, tidak mustahil orang mencapai kemahiran itu. Jika masyarakat bahasa sudah majemuk coraknya, jika sistem bagi-kerjanya sudah amat berkembang, hampir tidak mungkin orang mengenal dan memahiri semua ragam bahasa dengan lengkap. Bertalian dengan hal tersebut baiklah disadari bahwa jumlah ragam yang kita pahami biasanya lebih besar daripada jumlah ragam yang kita kuasai. Hal itu juga berlaku bagi pengetahuan kita tentang kosa kata dan sintaksis. Dalam praktik, kita juga tidak perlu mempelajari semua ragam bahasa yang tersedia. Sekolah, misalnya, tidak wajib mengajarkan ragam orang yang tidak berpendidikan; demikian pula ragam kelompok khusus, yang dikenal dengan istilah slang, tidak perlu dimasukkan dalam bahan pengajaran bahasa. Yang perlu diketengahkan kepada para siswa ialah kenyataan bahwa bahasa kita bukan bongkah emas sepuluh mutu yang murni, melainkan gumpalan yang unsurnya emas tulen, emas tua, emas muda, dan mungkin juga, tembaga. Semua ragam itu termasuk bahasa Indonesia, tetapi tidak semuanya dapat disebut anggota "bahasa yang baik dan benar". Apakah yang sebenarnya dimaksudkan dengan bahasa yang baik dan benar itu? Sebelum menjawab pertanyaan itu marilah kita telaah lebih dahulu hakikat bahasa baku atau bahasa standar.
0.3. Bahasa Baku
Ragam bahasa orang yang berpendidikan , yakni bahasa dunia pendidikan, merupakan pokok yang sudah agak banyak ditelaah orang. Ragam itu jugalah yang kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain. Ragam itu tidak saja ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Apa yang dahulu disebut bahasa Melayu Tinggi dikenal juga sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu juga yang dipakai oleh kaum yang berpendidikan dan yang kemudian dapat menjadi pemuka di berbagai bidang kehidupan yang penting. Pejabat pemerintah, hakim, pengacara, perwira, sastrawan, pemimpin perusahaan, wartawan, guru, generasi demi generasi terlatih dalam ragam sekolah itu. Ragam itulah yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Fungsinya sebagai tolok menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa standar baginya.
Proses tersebut terjadi di dalam banyak masyarakat bahasa yang terkemuka seperti Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, dan Italia. Di Indonesia keadaannya agak berlainan: pejabat tinggi, pemuka, dan tokoh masyarakat kita dewasa ini yang berusia antara 45 dan 65 tahun tidak semuanya beroleh kesempatan memahiri ragam bahasa sekolah dengan secukupnya. Peristiwa revolusi kemerdekaan kita agaknya yang menjadi musababnya. Karena itu, mungkin tidak amat tepat menyamakan bahasa Indonesia yang baku dengan bahasa golongan pemimpin masyarakat secara menyeluruh. Masalahnya, di Indonesia, kemahiran berbahasa yang benar, walaupun dihargai, belum menjadi prasyarat kedudukan yang terkemuka di dalam masyarakat kita. Mengingat kenyataan tersebut di atas kita perlu kembali ke dunia pendidikan yang menurut adat menjadi persemaian para pemimpin. Ragam bahasa yang diajarkan dan dikembangkan di dalam lingkungan itulah yang akan menjadi ragam bahasa pemimpin kita yang mendatang sehingga pada suatu saat bahasa Indonesia yang baku memang dapat disamakan dengan ragam bahasa golongan pemuka yang memancarkan gengsi dan wibawa kemasyarakatan. Oleh sebab itu di Indonesia, semua proses pembakuan hendaknya bermula pada ragam bahasa perguruan dengan berbagai coraknya dari sudut pandangan sikap, bidang, dan sarananya.
Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang menerbitkan bentuk perasa dan perumus dengan taat asas harus dapat menghasilkan bentuk perajin dan perusak dan bukan pengrajin dan pengrusak. Kehomoniman yang timbul akibat penerapan kaidah itu bukan alasan yang cukup berat yang dapat menghalalkan penyimpangan itu. Bahasa mana pun tidak luput dari kehomoniman. Di pihak lain, kemantapan itu tidak kaku, tetapi cukup luwes sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem dan teratur di bidang kosa kata dan peristilahan, dan mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan di dalam kehidupan modern. Misalnya, di bidang peristilahan muncul keperluan membedakan pelanggan 'orang yang berlanggan (an) dan langganan 'orang yang tetap menjual barang kepada orang lain: hal menerima terbitan atau jasa atas pesanan secara teratur' .
Ragam baku yang baru dalam penulisan laporan, karangan ilmiah, undangan, percakapan telepon perlu dikembangkan lebih lanjut. Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya. Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan satuan-bahasalain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa itu amat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat ragam bahasa baku bahasa Indonesia. Akan tetapi, karena proses bernalar secara cendikia bersifat semesta dan bukan monopoli suatu bangsa semata-mata, pencendekiaan bahasa Indonesia tidak perlu, berarti pembaratan bahasa. Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah ciri ketiga bahasa baku. Setelah mengenali ketiga ciri umum yang melekat pada ragam standar bahasa kita, baiklah kita beralih ke pembicaraan tentang lajunya proses pembakuan di bidang ejaan, lafal, kosa kata, dan tata bahasa sampai kini.
0.4 Fungsi Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi. Tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolis, sedangkan yang satu bersifat objektif. Masing-masing diberi nama (1 ) fungsi pemersatu; (2) fungsi pemberi kekhasan. (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian, bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu. Bahasa Indonesia ragam tulisan yang diterbitkan di Jakarta selaku pusat pembangunan agaknya dapat diberi predikat pendukung fungsi pemersatu. Bahkan banyak orang bukan saja tidak sadar akan adanya dialek (geografis) bahasa Indonesia, melainkan menginginkan juga keadaan utopia yang hanya mengenal satu ragam bahasa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke.
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Hal itu nyata pada penutur bahasa Indonesia. Yang meragukan setengah orang ialah apakah perasaan itu bertalian lebih erat dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau dengan bahasa baku. Yang jelas ialah pendapat orang banyak hahwa bahwa bahasa Indonesia lain daripada bahasa Malaysia, lain daripada bahasa Melayu di Singapura atau Brunei. Bahkan bahasa Indonesia dianggap sudah jauh berbeda dari bahasa Melayu Riau-Johor yang menjadi induknya.
Pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri. Ahli bahasa dan khalayak ramai di Indonesia pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan bahasa Indonesia dapat dijadikan teladan bagi bangsa lain di Asia-Tenggara (dan mungkin juga di Afrika) yang juga memerlukan bahasa yang modern. Di sini pun harus dikemukakan bahwa prestise itu mungkin lebih-lebih dimiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional daripada sebagai bahasa baku. Dapat juga dikatakan bahwa fungsi pembawa wibawa itu beralih dari pemilikan bahasa baku yang nyata ke pemilikan bahasa yang berpotensi menjadi bahasa baku. Walaupun begitu, menurut pengalaman, sudah dapat disaksikan di beberapa tempat bahwa penutur yang mahir berbahasa Indonesia "dengan baik dan benar" memperoleh wibawa di mata orang lain.
Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasi) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan. Dengan demikian penyimpangan dari norma dan kaidah dapat dinilai. Bahasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saja terbatas pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam permainan kata, iklan, dan tajuk berita. Fungsi ini di dalam bahasa Indonesia baku belum berjalan dengan baik. Namun, perlunya fungsi itu berkali-kali diungkapkan di dalam ketiga kongres bahasa Indonesia, seminar, dan simposium, serta berbagai penataran guru. Kalangan guru berkali-kali menghimbau agar disusun tata bahasa normatif yang dapat menjadi pegangan acuan bagi guru bahasa dan pelajar.
Pembakuan atau penstandaran bahasa dapat diselenggarakan oleh badan pemerintah yang resmi atau oleh organisasi swasta. Di Amerika, misalnya, para penerbit mengeluarkan pedoman gaya tulkis-menulis yang kemudian dianggap baku sehingga pengarang yang ingin menerbitkan karyanya, mau tidak mau, mengikuti petunjuk yang ditentukan oleh kaum awam penerbit. Di antara penerbit Indonesia tidak ada pegangan yang mantap. Ada yang mengizinkan perangkaian penulisan kata depan dengan kata nomina di belakangnya; ada yang mengizinkan penulisan angka 2 dalam teks buku walaupun sudah ada pedoman umum ejaan yang resmi. Mengingat kedudukan bahasa nasionalnya yang amat penting dalam peri kehidupan warga negaranya, di Indonesia ada badan pemerintah yang ditugasi menangani pembakuan bahasa. Namanya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Karena ragam bahasa dunia pendidikan didahulukan dalam proses pembakuan ini, maka kerja sama antara pusat itu dengan para guru dan pengembang ilmu di berbagai jenis lembaga pendidikan merupakan prasyarat bagi berhasilnya penstandaran bahasa. Hal itu tidak mengisyaratkan bahwa kerjasama dan dukungan golongan lain, seperti pengasuh media massa dan kalangan pembina pendapat umum, tidak diperlukan.
Ejaan, atau tata cara menulis, bahasa Indonesia dengan huruf Latin untuk ketiga kali dibakukan secara resmi pada tahun 1972, setelah berlakunya ejaan Van Ophuijsen (1910) dan ejaan Soewandi (1974). Pada tahun 1975 dikeluarkan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan yang menguraikan kaidah ejaan yang baru itu secara terinci dan lengkap. Jika kita menerapkan patokan pembakuan yang terurai di atas, maka dapat dikemukakan pendapat bahwa kaidah ejaan kita sudah seragam, dasar penyusunannya memenuhi syarat kecendekiaan, tetapi pelaksanaannya belum mantap. Mengingat jumlah variasi pelafalan, atau pengucapan, bahasa Indonesia yang diizinkan atau diterima itu sangat besar, akibat banyaknya ragam kedaerahan, pelaksanaan ejaan yang baku menjamin kemudahan proses pemahaman di antara semua penutur yang tersebar di kepulauan kita. Apa pun lafal kata yang mengacu ke 'mobil tumpangan yang dapat memuat orang banyak' di Tapanuli, Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Minahasa, hendaknya disepakati agar ejaannya yang baku ialah bus dan bukan bis.
Sebagaimana dinyatakan di atas, lafal bahasa Indonesia banyak coraknya. Kita tidak saja berhadapan dengan ragam kedaerahan, tetapi juga dengan ragam orang yang kurang berpendidikan, yang fonologi bahasanya berbeda. Jika ditinjau dari sudut pembakuan, kita dapat mengambil dua sikap. Yang pertama didukung oleh anggapan agar berbagai lafal yang ada dibiarkan selama lafal itu ternyata tidak mengganggu arus perhubungan kebahasaan di antara penuturnya. Orang di pihak ini berpendapat bahwa keleluasaan dalam lafal harus dilonggarkan. Bahasa Inggris yang dilafalkan orang di Australia, India, Britania, Kanada, dan Amerika, misalnya, juga tidak menimbulkan gangguan komunikasi. Sikap yang kedua dianut oleh orang yang terpendapat bahwa lafal yang santun mutlak diperlukan. Kata mereka. "Dulu kami pun mempelajari lafal bahasa Belanda santun yang umum." Andaikata keinginan itu layak diwujudkan sekarang, setelah pembakuan ejaan yang baru diselesaikan. maka masalah yang timbul ialah lafal siapa dan lafal daerah mana yang harus dijadikan tolok agar dapat disebut lafal Indonesia yang baku. Karena kita tentang soal ini belum membulatkan mufakat, agaknya terlalu dini mengusahakan pembakuan lafal pada waktu sekarang.
Dengan menggabung-gabungkan angka Arab yang jumlahnya hanya sepuluh itu, kita mampu melambangkan bilangan apa saja dan yang tidak terbatas jumlahnya maupun besarnya. Di dalam bahasa, dengan perangkat bunyi dan huruf yang juga terbatas banyaknya, kita pun dapat menyusun kata baik dalam ujaran maupun dalam tulisan yang jumlahnya mungkin beratus ribu. Satuan bahasa itu kita pakai untuk mengacu ke barang, perbuatan, sifat, atau gagasan apa saja yang bertalian dengan kehidupan kita. Kumpulan unsur bahasa itu disebut kosa kata 'khazanah kata'. Istilah leksikon dipakai dengan makna yang sama, tetapi kadang-kadang diperbedakan juga sebagai pengacu kumpulan seluruh jumlah morfem-jadi, semua afiks juga termasuk--yang tersedia dalam bahasa. Kosa kata Indonesia disusun menurut abjad dalam kamus. Hingga kini; dua buah kamus yang dianggap mendekati kelengkapan ialah Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta (edisi pertama. cetakan pertama, 1953; edisi kedua. cetakan kedelapan 1982) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (edisi pertama, cetakan pertama, 1988). Namanya mengisyaratkan bahwa kamus itu bukan perekam bahasa yang baku saja. Di dalamnya terdapat butir masukan yang tergolong ragam yang tidak baku.
Sehubungan dengan pembakuan kosa kata ada kalanya orang bertanya, sudahkan kata seperti cewek, ngelotok, ngopi, dan nggak, jadi warga kosa kata Indonesia. Jawabnya, ya, karena bahasa kita banyak ragamnya, tetapi kata itu bukan unsur ragam bahasa yang baku. Dalam pada itu, unsur bahasa yang semula tidak termasuk ragam standar lambat-laun dapat diterima menjadi bagian kosa kata yang baku. Bandingkanlah, misalnya, perbedaan sikap orang beberapa waktu yang lalu dengan sekarang terhadap kata pacar, bisa, dan dimengerti. Karena banyaknya kesangsian di antara penutur bahasa dan demi tujuan pengajaran bahasa yang tepat, usaha pembakuan kosa kata, yang seyogianya ditafsirkan pemantapan kosa kata dalam ragam bahasa yang baku, perlu digiatkan dan dikembangkan.
Rintisan pembakuan kosa kata sebenarnya sudah agak lama berjalan bidang peristilahan yang merupakan bagiannya yang amat penting. Pekerjaan pembakuan istilah itu sudah dimulai sejak 1942 dengan adanya Komisi Bahasa Indonesia. Akan tetapi, baru pada tahun 1975 keluarlah Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang ingin memberikan patokan yang menyeluruh permasalahan tersebut sehingga kita dapat memiliki tata istilah yang memenuhi syarat kemantapan, kecendekiaan, dan keseragan. Penyusunan istilah khusus serta pengembangannya pada hakikatnya merupakan unsur sertaan pengembangan ilmu. Karena itu, kepada para ahli di berbagai bidang dan lapanganlah diamanatkan penataan istilah Indonesia yang baku.
Penstandaran tata bahasa Indonesia belum pernah dilakukan secara resmi. Walaupun demikian, buku tata bahasa, baik yang berupa saduran karangan ahli Belanda maupun yang berupa karya asli, yang banyak dipakai di perguruan kita tidak sedikit pengaruhnya sebagai faktr pembaku. Apa yang diajarkan oleh buku itu, itulah yang dianggap benar. Buku yang banyak pengaruhnya terhadap pandangan kebahasaan orang yang bergerak di bidang pendidikan, di antaranya dapat disebut karangan Van Ophuijsen (1910), S.M. Zain (1942), Madong Loebis (1946), S.T. Alisjahbana (1949); C.A. Mees (1951), Fokker (1951), Poedjawijatna dan Zoetmulder (1955), Slametmuljana (1956-57), Gorys Keraf (1970), Poerwadarminta (1967), Samsuri (1971, 1978), dan M. Ramlan (1971, 1980, 1991). Di samping jasanya sebagai sarana, kadang-kadang memang satu-satunya, dalam pengajaran bahasa di sekolah yang berhasil menjaga kesinambungan proses pemahiran bahasa Indonesia, buku tata bahasa yang pernah dipakai secara luas itu tidak luput dari dua kelemahan. Yang pertama berhubungan dengan taraf perinciannya. Di antara bagian tata bunyi, tata bentuk, dan tata kalimat, umumnya tata bentuklah yang uraiannya paling terinci. Bagian tata bunyi menimbulkan kesan bahwa pembahasannya bertolak dari pengetahuan orang tentang tata bunyi Belanda. Itulah sebabnya, dalam buku tata bahasa Indonesia dapat dipersoalkan tempat tekanan kata dan jenis tekanan, seperti tekanan dinamik, tekanan tinggi, dan tekanan waktu. Bagian sintaksis bernasib anak tiri. Contohnya begini. Karena dalam bahasa Belanda predikat kalimat selalu memuat bentuk verba, kalimat Indonesia, seperti Ayah di rumah menurut teori tata bahasa yang berlaku juga bukan kalimat yang sempurna.
Kekurangan yang lain berkisar pada kekaburan tentang apa yang dapat disebut kaidah tata bahasa dan apa yang bukan. Kaidah tata bahasa mengandung kemampuan penerapan secara umum. Bentukan bahasa yang kaidahnya tidak dapat dirumuskan secara umum masuk bidang idiom atau leksikologi. Misalnya, jika bentukan tertulang dan terbuku memperoleh tafsiran 'sampai ke tulang' dan 'sampai ke buku', kita tidak dapat menjabarkan kaidah yang menyatakan bahwa awalan ter-dapat bermakna 'sampai ke'. Sebabnya ialah penerapan awalan ter- dengan makna itu tidak dapat disimpulkan atau digeneralisasi. Kita tidak mungkin menyusun bentuk (Ia jatuh) terjurang, atau (Kemarin kami) ter-Bandung. Bentuk tertulang dan terbuku sebaiknya dimasukkan golongan idiom di samping meninggal dan memberi tahu. Pembauran kaidah gramatikal, yang dapat diterapkan secara umum, dengan idiom atau adat bahasa, yang seharusnya dihafalkan secara utuh, menyulitkan pemelajaran bahasa. Bagaimanakah, misalnya, tafsiran kalimat yang berikut; Rahasia itu kemarin terbongkar? Rahasia itu dapat dibongkar, sudah dibongkar, dibongkar dengan tidak sengaja, ataukah tiba-tiba dibongkar?
Di atas telah disinggung hal teras atau inti sari bersama yang umum dalam bahasa Indonesia. Wajarlah jika dikatakan bahwa bagian yang tidak kecil dari kumpulan ciri dan kaidah pokok bahasa kita sudah dicakup dalam buku tata bahasa yang selama ini terpakai. Inti sari itu juga memberikan gambaran bahwa tata bunyi, tata bentuk, dan tata kalimat Indonesia masih sangat banyak persamaannya dengan padanannya di dalam bahasa Melayu. Perbedaannya yang paling nyata dapat disaksikan pada lafal dan kosa katanya. Jika orang Indonesia dan Malaysia menggunakan. bahasanya masing-masing, maka bagian yang dapat dipahami jauh lebih besar daripada bagian yang tidak. Karena itu, ada baiknya kita kaji kembali benar tidaknya pernyataan bahasa Indonesia sudah sangat berlainan dengan bahasa Melayu, yang merupakan induk bagi kedua bahasa tersebut. Tidakkah mungkin bahwa pendirian itu dipengaruhi oleh tautan pikiran politik nasional yang menghubungkan kata Melayu dengan suasana kolonial atau kesukuan? Anggapan itu dikemukakan di sini karena oleh setengah orang penyimpangan kaidah bahasa masa kini dengan mudah dapat dihalalkan sebab bahasa Indonesia “sudah sangat berbeda dengan bahasa Melayu dulu".
05 Bahasa yang Baik dan Benar
Jika bahasa sudah memiliki kebakuan atau kestandaran, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak dengan lebih mudah dapat dibuat pembedaan antara bahasa yang benar dengan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar atau betul. Jika orang masih berbeda pendapat tentang benar tidaknya suatu bentuk bahasa maka selisih paham itu menandakan ketiadaan standar, atau adanya baku yang belum mantap. Jika dipandang dari sudut itu, kita mungkin berhadapan dengan bahasa yang semua tatarannya sudah dibakukan; atau yang sebagiannya sudah baku, sedangkan bagian yang lain masih dalam proses pembakuan; ataupun yang semua bagiannya belum atau tidak akan dibakukan. Bahasa Indonesia, agaknya, termasuk golongan yang kedua. Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita sudah distandarkan, kaidah pembentukan kita yang sudah teradat dapat dianggap baku, tetapi pelaksanaan patokan itu dalam kehidupan sehari-hari belum mantap.
Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apapun jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif.. Bahasanya membuahkan efek atau hasil karena serasi dengan peristiwa atau keadaan yang dihadapinya. Di atas sudah diuraikan bahwa orang yang berhadapan dengan sejumlah lingkungan hidup harus memilih salah satu ragam yang cocok dengan situasi itu. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar-menawar di pasar misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan. Jadi, pada asasnya, kita mungkin menggunakan bahasa yang baik, artinya yang tepat, tetapi yang tidak termasuk bahasa yang benar. Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang benar yang tidak baik penerapannya karena suasananya mensyaratkan ragam bahasa yang lain. Maka anjuran agar kita “berbahasa Indonesia dengan baik dan benar” dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan "bahasa Indonesia yang baik dan benar”, sebaliknya mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran. ***
0 komentar:
Posting Komentar